Bila predikat Angkatan Udara terkuat di Asia Tenggara kini di pegang oleh Singapura, maka di era tahun 60an kekuatan angkatan udara negeri kita boleh dibilang menjadi “Singa”, tak cuma di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Asia, TNI-AU kala itu sangat diperhitungkan. Bahkan Cina maupun Australia belum punya armada pembom strategis bermesin jet. Sampai awal tahun 60an hanya Amerika yang memiliki pembom semacam (B-58 Hustler), Inggris (V bomber-nya, Vulcan, Victor, serta Valiant) dan Rusia.
Gelar “Singa” tentu bukan tanpa alasan, di awal tahun 60an TNI-AU sudah memiliki arsenal pembom tempur mutakhir dimasanya yakni TU-16, yang punya daya jelajah cukup jauh dan mampu membawa muatan bom dalam jumlah besar. Pembelian TU-16 AURI didasari terbatasnya kemampuan B-25, embargo suku cadang dari Amerika dan untuk memuaskan ambisi politik.
“TU-16 masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK) suatu siang di penghujung tahun 50an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli TU-16. Tapi apa daya Rusia, AURI ngotot. Bung Karno terus menguber Zhukov tiap kali bersua. “Gimana nih, TU-16-nya,” kira-kira begitu percakapan dua tokoh ini. Akhirnya, mungkin bosan dikuntit terus, Zhukov melaporkan juga keinginan Bung Karno kepada Menlu Rusia Mikoyan. Usut punya usut, kenapa Bung Karno begitu semangat? Ternyata, Letkol Salatun-lah pangkal masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (KSAU Suryadarma) menagih janji Bung Karno setiap ada kesempatan,” aku Marsda (Pur) RJ Salatun tertawa.
Ketika ide pembelian TU-16 dikemukakan Salatun saat itu sekretaris Dewan Penerbangan/Sekretaris Gabungan Kepala-kepala Staf kepada Suryadarma tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta), malah merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, Amerika meng-embargo suku cadangnya. Alhasil, gagasan memiliki TU-16 semakin terbuka.
Salatun yang menemukan proyek TU-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957, menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan TU-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring disetujuinya rencana pembelian TU-16 ini, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun, kemudian turut diperpanjang.
Proses pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, baru terealisasi 1 Juli 1961, ketika TU-16 pertama mendarat di Kemayoran. Ketika lobi pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, Cina pernah dilirik agar membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, Cina diminta menalangi dulu pembeliannya. Namun usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan Cina-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya, “Malah Cina menawarkan Tu-4m Bull-nya,” tutur Salatun. Misi Salatun ke Cina sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang.
Jadi, pemilihan TU-16 memperkuat AURI bukan semata alat diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata Amerika. Padahal saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.
Tahun 1960, Salatun berangkat ke Moskow bersama delegasi pembelian senjata dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai kedatangannya, delegasi belum tahu, apakah TU-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah Bung Karno hanya, cari senjata. Apa yang terjadi. TU-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.
“Karena TU-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategis selain Amerika, Inggris dan Rusia sendiri. Hebat lagi, AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu-16 dengan Anti Radiation Paint, cat khusus anti radiasi bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya bom nuklir,” tutur Salatun. Usul tersebut ditolak.
Segera AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Mulai tahun 1961, ke-24 TU-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama yang mendarat di Kemayoran dikemudikan oleh Komodor Udara (sekarang Marsda TNI Pur Cok Suroso Hurip). Mendapat perhatian terutama dari kalangan intel Amerika.
Kesempatan pertama intel-intel AS melihat TU-16 dari dekat ini, memberikan kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat TU-16 dipindahkan ke Madiun. U-2 pun mereka libatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan TU-16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat blok Timur lainnya berjejer di Madiun.
Senjata Rudal kennel
Kennel memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah dilakukan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,” aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.
Diuber Javelin
Lebih tepat, di masa Dwikoralah awak TU-16 merasakan ketangguhan TU-16. Apa pasal? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari Butterworth, Penang.
“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah Alam Damanik, penerbang TU-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.
Damanik menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.
Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak, salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang. Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka, begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring TU-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down). Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap mereka (menembak), kalian langsung balas,” perintahnya. Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.
Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi, Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu, kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.
Segenap awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor (tail gunner). Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar TU-16 jadi ngadat. “Mungkin saya terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Lain lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan TU-16 ke Medan lewat selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua TU-16 selama Dwikora. Satu pesawat terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan,” katanya. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra.
Walau terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. Bung Karno memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau pengintaian ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti “polisi”, untuk mengingatkan TU-16 agar jangan keluar perbatasan.
Misi ala stealth
Masih dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga TU-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, TU-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu. “Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.
Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.
Walau begitu, misi tetap dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun sekitar jam satu malam. “Pak Wondo (pilot pesawat-Red) tak banyak komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di Wing 003 pukul 11 malam dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah, gunner TU-16 yang baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke Australia.
Briefing berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan Madiun. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat pencegat F-86 Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo berputar agak jauh, ketika tiba di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata Sjahroemsjah.
Penyusupan ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12 malam. Pesawat membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Seperti berebutan, pamflet berhamburan keluar disedot angin yang berhembus kencang.
Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Rupanya, aku Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara mengantisipasi serangan udara. Akhirnya, setelah semua pamflet diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam penerbangan. Semua TU-16 kembali dengan selamat.
Dapat dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup melakukan operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan. Kalaulah sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.
Akhir Perjalanan Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir TU-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! Bayangkan, “AURI harus menghapus seluruh armada TU-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan TU-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” TU-16 pada tahun 1970.
Dokumen CIA (central intelligence agency) sebagaimana dikutip Audrey R Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya “Subversi Sebagai Politik Luar Negeri” menulis: “Belanja senjata RI mencapai 229. 395.600 dollar AS. Angka itu merupakan akumulasi perdagangan pada tahun 1958. Sementara dari Januari hingga Agustus 1959 saja, nilainya mencapai 100.456.500 dollar AS. Dari jumlah ini, AURI kebagian 69.912. 200 dollar AS, yang di dalamnya termasuk pemesanan 20 pesawat pembom.”
Tidak dapat dipungkiri, memang, TU-16 pembom paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, laspun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang alumunium,” ujar Bagio.
Namun TU-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun. “Kita terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang juga sedikit rumit, karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang dan Kemayoran.
Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia, memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat. Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora – Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada TU-16-nya ke Mesir. Namun hal ini tidak pernah terlaksana.
Begitulah nasib TU-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak TU-16 pada bulan Oktober 1970 menjelang HUT ABRI. Dijejali 10 orang, TU-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta. “Sempat ke sasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut diakui, keberadaan pembom strategis mampu memberikan efek psikologis bagi lawan-lawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan 80-an, TU-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS. “Lah, wong nama saya masih tercatat sebagai pilot TU-16 di ruang operasi Subic Bay, kok,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.
Atraksi Ketangguhan Sang Bomber Dalam Persiapan Operasi Trikora
Saat Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan bumi selatan. Dalam mendukung kampanye Trikora, AURI menyiapkan satu flight TU-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang TU-16. “Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya. Saat itu, dikalangan pilot TU-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Selain memiliki 12 TU-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41, AURI juga memiliki 12 TU-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti Belanda. Karena hantaman enam Kennel, mampu menenggelamkan Karel Doorman ke dasar samudera. Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan TU-16.
Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Bulan Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak TU-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan. Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung bom Biak,” ceritanya mengenang. “Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket operation.
Namun para awak TU-16 di Morotai ini, tidak akan pernah melupakan jerih payah ground crew-nya. “Yang paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah TU-16, dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai pesawat, jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah laut. Makanya, sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus. Derita awak darat itu belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke tangki pesawat yang berkapasitas kurang lebih 45.000 liter itu, masih menggunakan cara manual. Di suling satu per satu dari drum hingga empat hari empat malam. Hanya sebulan TU-16 di Morotai, sebelum akhirnya ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.