BREAKING NEWS
loading...
loading...
Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

Sunday, 8 February 2015

Catatan Pencarian Pantai Jayanti, Membelah Jalur Ciwidey – Cidaun

Pagi itu Angga sudah melaju di atas sepeda motornya menembus kemacetan Kota Bandung. Cuaca masih dingin tetapi mesin sepeda motor sudah cukup panas menderu beradu kencang dengan teman satu merknya yang berjalan beriringan dari wilayah Ujung Berung menuju arah Barat. Walaupun waktu baru menunjukkan pukul enam pagi, tetapi lalu lintas tengah kota Bandung di hari Sabtu itu sudah mulai padat.

Sabtu tidak berarti hari libur di Kota Bandung. Tetap banyak juga anak sekolah atau orang-orang yang berburu waktu menuju tempat kerjanya masing-masing. Namun pagi itu Angga sedang berusaha mencapai sebuah tempat di ujung Selatan kota Bandung. Jangan tebak itu sebagai Ciwidey atau Pangalengan, itu sudah terlalu sering didengar orang-orang. Lebih dari itu, sedikit berbeda dan mungkin asing bagi kebanyakan orang, kali ini Angga berburu waktu menuju daerah Cidaun,  Cianjur Selatan. Konon di sana ada tempat bernama Pantai Jayanti, pantai yang jaraknya paling dekat dari kota Bandung.

Benarkah paling dekat? Entahlah, di pagi itu juga Angga belum tahu pasti kabar itu, yang jelas tujuan dia berangkat sepagi itu dengan sepeda motornya adalah untuk membuktikan kabar itu. Dia tak sendirian, dibelakangnya sudah duduk dengan manis seorang gadis berkerudung yang nampak masih mengantuk namun tetap antusias menemani perjalanan dia kala itu. Uchy nampak senang, mungkin. Mungkin sebabnya hari itu dia bisa membolos kerja. Karena biasanya dia berangkat sepagi itu di hari Sabtu untuk pergi ke kantornya di daerah Soekarno Hatta. Dan pagi itu dia bisa melambaikan tangan ke arah jalan Soekarno Hatta untuk berbelok menuju arah Ciwidey.

Ciwidey merupakan gerbang awal terdekat menuju Cidaun ini. Ini bukan gosip atau mitos walaupun saat itu Angga belum membuktikan kebenarannya. Namun seiring beranjaknya pagi menuju siang, sepeda motornya mulai membantu membuktikan kabar itu. Jam 9 pagi mereka sudah berada di wilayah perbatasan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, melewati sebuah wilayah hutan konservasi karena wilayahnya gelap, lembab, rimbun oleh  pepohonan yang nampak benar-benar dijaga.  Jalanannya menurun sejak dari wilayah Rancabali, Ciwidey dengan aspal yang banyak mengelupas. Nampaknya jalanan saat itu membawa mereka menuju sebuah wilayah lembah yang bernama Naringgul.

Naringgul adalah sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Cianjur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bandung. Jaraknya sekitar 34 km dari daerah Rancabali. Ini ditunjukkan dari Plang Kecil yang terbuat dari kayu dicat warna biru sebagai penunjuk arah di wilayah Rancabali, Ciwidey. Kebetulan tadi Angga sempat melihat plang itu yang berdiri mungil di tengah hijaunya pemandangan sekitar Rancabali.
Setelah beberapa lama berjibaku dengan jalanan berliku dan mulus dari daerah Rancabali, akhirnya perjalanan Angga dan Uchy harus bertemu juga dengan jalanan rusak. Tepat memasuki wilayah Naringgul, jalanan yang mereka lalui mulai tidak enak untuk dilewati. Aspal nampak mengelupas dimana-mana, begitu juga dengan kerikil yang berserakan membuat Angga hanya bisa memacu sepeda motor bebeknya di antara 20-30km/jam saja. Padahal jarak dari Naringgul menuju Cidaun itu hanya tinggal sekitar 25 km lagi menurut perhitungan kasar di benak Angga kala itu. Tetapi dengan kondisi jalanan seperti itu mereka berdua pun harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam untuk melewati jalur ini.

Jalanan rusak mulai berakhir ketika mereka berdua sudah mendekati wilayah Cidaun. Jalur yang tadinya dikelilingi bukit kini mulai berubah di kelilingi pepohonan kelapa dengan hawa lembab khas daerah pantai. Mereka berdua nampak menebak-nebak, sepertinya memang sudah mendekati bibir pantai, namun tak kunjung terlihat hamparan biru Samudera Hindia yang sedari tadi mereka nanti-nantikan itu. Angga melirik Patok di pinggir jalan menunjukkan 8 km lagi menuju Cidaun. Melihatnya, Angga pun makin semangat memelintir selongsong gas di stang sepeda motornya.

Akhirnya ketika memasuki daerah tepat di depan SMPN 1 Cidaun, mulai lah mereka melihat hamparan biru laut Selatan. SMPN 1 Cidaun yang menurut informasi yang didapat Angga itu terletak sekitar 30 meter di atas permukaan laut sepertinya menjadi tanjakan terakhir perjalanan mereka karena setelahnya jalanan menurun menuju bibir Pantai hingga sampai di pertigaan LSJB (Lingkar Selatan Jawa Barat).

Inilah rupanya pantai Selatan Cianjur itu. Akhirnya apa yang Angga pikirkan sedari tadi ternyata kini ada di depan mata. Hamparan Samudera Hindia yang menjadi bagian paling Selatan negeri Indonesia ini kini jelas ada dihadapan mereka berdua.


Mereka tak bisa melepaskan pandangan ke arah hamparan membiru dan buih putih dari ombak yang bergulung menuju pantai. Setelah sampai di pertigaan jalur Selatan Pesisir Jawa Barat, mereka kini berbelok ke arah Timur, melaju dengan kecepatan tak terlalu tinggi menikmati jalur pesisir Selatan Jawa Barat. Sambil sesekali memandang ke kanan, mereka mulai menikmati dan merasakan panasnya cuaca di wilayah ini. 

Sekitar empat kilometer lagi harus mereka tempuh untuk bisa bertemu dengan Pantai Jayanti, pantai yang kini perlahan mulai terbukti bahwa inilah pantai yang jaraknya dekat dari Bandung. Seandainya saja jalanan yang bisa dilalui itu lebih terawat, mungkin tempat ini nantinya akan menjadi tujuan wisata yang menjanjikan keindahan yang tak kalah dari Pantai lain di Jawa Barat, pikir Angga saat itu sembari kembali memandang ke kanan menikmati hembusan angin yang menyeka keringatnya siang itu. Bila dihitung-hitung, jarak yang sudah mereka tempuh siang itu hanya sekitar 100 kilometeran. Namun waktu tempuh menjadi sangat panjang karena jalur yang dilalui mengharuskan mereka berjalan lambat. Mungkin inilah penyebabnya tempat ini belum begitu banyak dikunjungi dan tidak seterkenal Pantai Pangandaran atau Pelabuhan Ratu.

Sekitar 15 menit perlahan mereka berdua melaju menikmati mulusnya jalus Selatan Jawa Barat ini, sampai akhirnya tibalah keduanya di gerbang masuk Pantai Jayanti yang terletak di sebelah kanan jalan. Tidak terlalu ramai memang kondisi saat itu.  Dengan harga tiket yang murah meriah keduanya langsung bisa menembus masuk area wisata ini. Dengan membayar tiket Rp 3000 perorang saja mereka sudah bisa masuk ke area wisata Pantai Jayanti, Cidaun ini.

Awalnya Angga dan Uchy sempat kebingungan karena yang mereka temui saat itu adalah sebuah dermaga dan tempat pelelangan ikan. Kemudian mereka menccoba untuk melihat keadaan sekitar, sejenak mengamati dan yang mereka temukan hanyalah dermaga dengan beberapa perahu yang ditambatkan, warung-warung kecil dan bebeapa kios tempat pelelangan ikan. Inikah Pantai Jayanti itu?, pikir mereka saat itu. Tetapi setelah berjalan ke arah Barat, mereka akhirnya menemukan hamparan pantai nan luas.

Saat itu Angga membawa sepeda motor bebek kesayangannya itu  memasuki area bibir pantai, melaju melewati lautan pasir walaupun dibeberapa area motornya sempat tenggelam di telan pasir. Pantai ini begitu sepi, seakan menjadi pantai pribadi bagi mereka berdua waktu itu.

Pantai Jayanti adalah sebuah Pantai yang terdiri  dari dua wilayah, di sebelah Barat Pantai dengan hamparan Pasir luas, sedangkan sebelah Timur adalah dermaga dan tempat pelelangan ikan. Pantai sebelah Barat cocok untuk dipakai kegiatan wisata. Namun karena ombaknya yang besar, di Pantai ini pengunjung dilarang untuk berenang.

Setelah menikmati indahnya Pantai Jayanti, makan dan juga shalat Dhuhur, sekitar pukul 14.00 mereka berdua beranjak untuk pulang. Karena tujuan awalnya memang One Day Trip, maka bergegaslah mereka untuk meninggalkan pantai ini. Angga saat itu berencana untuk pulang melewati jalur Rancabuaya-Cisewu-Pangalengan-Bandung. Keluar dari gerbang Pantai Jayanti mereka pun berbelok ke kanan ke arah Kabupaten Garut, menuju Pantai Rancabuaya. Di jalur ini laju motor berulangkali melewati jembatan yang menghubungkan jalan yang terputus oleh sungai-sungai kecil yang bermuara di Pantai Selatan. Pantas saja jika daerah ini dulunya sangat terisolasi mengingat dari Kabupaten Cianjur menuju Kabupaten Garut ini, warga harus melewati beberapa sungai. Namun sekarang, perjalanan mereka dari Kabupaten Cianjur ke kabupaten Garut lewat Jalur Pesisir Selatan Jawa Barat ini cukup ditempuh dengan 1 jam perjalanan saja. Perekonomian masyarakat di wilayah ini nampaknya akan semakin maju dengan terhubungnya wilayah ini dengan jalan yang mulus dan jembatan-jembatan yang kokoh.

Tepat pukul tiga sore sampailah keduanya di perempatan Rancabuaya, disini terdapat rambu petunjuk yang mereka lihat, dimana berbelok kanan menuju pantai Rancabuaya, lurus menuju daerah Pameungpeuk Garut, ke Pantai Santolo, dan arah belok kiri adalah arah Pangalengan. Karena sudah terlalu sore, Angga meutuskan untuk hanya sekedar lewat saja di tempat ini. Rencana untuk berkunjung ke Pantai Rancabuaya ia urungkan karena takut terlalu malam di jalan. Apalagi dirinya belum terlalu hapal bagaimana keadaan jalur Cisewu - Pangalengan di malam hari. Angga kemudian berbelok ke arah Pangalengan dan berhenti sejenak untuk mengisi bensin di penjual eceran. Sepanjang jalur Cidaun sampai Rancabuaya ini banyak sekali penjual bensin eceran yang mereka temui karena memang tidak ada SPBU. Penjual bensin eceran disini mendapat pasokan bensin dari daerah Pangalengan atau Ciwidey. Harga bensin yang dijual bervariasi, dari mulai Rp 5000 sampai Rp 6000 per liter tidak terlalu jauh bedanya dengan harga Rp 4500 per liter di SPBU saat itu. Kebetulan penjual bensin yang mereka temui di dekat perempatan Rancabuaya ini menjual bensinnya hanya seharga Rp 5000 per liter. Di daerah pesisir Selatan Garut ini barang-barang kebutuhan sehari-hari lebih mudah di dapatkan daripada di daerah pesisir Selatan Cianjur. Mungkin karena jaraknya dekat dengan daerah Pameungpeuk sehingga distribusi barang lebih mudah. Bandingkan dengan daerah Cidaun yang sangat jauh dari Cianjur kota. Perjalanan berlanjut, kali ini pulang menuju arah Pangalengan. Dari daerah pantai menuju daerah Pegunungan sudah pasti mereka harus mendaki jalanan. Jalanan dari Rancabuaya menuju Cisewu ini sudah diperbaiki sehingga lebih lebar dan aspal hotmix baru. Marka jalan juga belum semuanya rampung karena kabarnya jalan ini baru saja selesai dibuat. Perbaikan jalur Pangalengan-Cisewu-Rancabuaya ini baru mulai dilakukan pada bulan Mei 2012 lalu. 



Dan Jalur ini kemudian menjadi jalur yang mengantarkan mereka berdua pulang kembali ke Bandung dengan berbekal kabar bahwa di Cianjur Selatan terdapat Pantai yang Indah bernama Pantai Jayanti



Curug Citambur, Curahan Anugerah Tuhan di Perbatasan Bandung Cianjur

Malam itu nampak dingin diiringi gemericik hujan di bulan November, Angga nampak asyik membuka-buka halaman Facebooknya.  Ditemani gelas besar berisi air putih yang nampak tinggal seperempatnya lagi. Disana juga ada handphone dan juga charger yang masih tetap menancap walaupun sudah terlepas dari tugasnya mengisi baterai handphone yang kini nampak sepi tak berdering. Seolah sedang beristirahat dari rutinitas padatnya di siang hari, handphone itu hanya diam dan hanya menggerakan angka jam saja menuju pukul 00.45.
 
Entah apa yang membuat Angga masih bisa terjaga malam itu, belum ada tanda-tanda  kegiatannya hari ini akan segera berakhir di peristirahatan sementaranya, bukan yang terakhir. Mungkin segelas kopi hitam yang diminumnya selepas Isya tadi cukup untuk membuatnya tahan terjaga hingga sekarang. Memutar-mutar scroll mouse komputernya sambil sesekali gerakan bola matanya mencari-cari sesuatu.
 
Malam itu ia membuka kembali album fotonya ketika berpetualang ke daerah Cianjur. Tepatnya ke tempat bernama Curug Citambur, begitulah nama  yang tertulis di album foto Facebook yang sedang ia buka. Di dalamnya mungkin ada beberapa foto yang membuatnya mengingat kembali pengalaman menarik yang pernah ia rasakan di sana.
 
Foto yang sedang dilihatnya malam itu adalah foto dirinya yang sedang berpose di depan Curug Citambur. Dulu foto itu diambil oleh si Yusni yang memang sering menjadi teman seperjuangan  si Angga dalam berpetualang mencari tempat-tempat baru yang belum banyak dikunjungi orang-orang. Yusni memang pandai mengambil foto dengan sudut pengambilan yang unik, membuat setiap foto yang diambil terlihat berbeda. Dalam foto itu Angga nampak sedang berdiri di depan Curug Citambur yang terlihat megah dengan sudut pengambilan gambar dari bawah.

 
Curug atau Air Terjun Citambur ini memiliki tinggi sekitar 100 meter. Terletak di antara perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, tepatnya di desa Karang Jaya, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur. Walaupun letaknya di Kabupaten Cianjur, namun tempat ini lebih dekat jika ditempuh dari wilayah Ciwidey. Jaraknya sekitar 80 km dari kota Bandung atau sekitar 40 km dari Ciwidey. Bagi masyarakat di daerah Ciwidey, mungkin sudah terbiasa mendengar nama Curug ini. Tapi lain halnya dengan masyarakat di daerah lain, terutama di Kota Bandung. Nama Curug Cimahi atau Curug Malela mungkin lebih populer di telinga orang Bandung di bandingkan nama Curug Citambur. Konon Curug Citambur ini termasuk kedalam sepuluh air terjun tertinggi di Indonesia.
 
Melihat foto itu membuat Angga kembali mengingat pengalaman mengesankannya itu. Di foto itu terlihat airnya nampak deras jatuh dari ketinggian, butiran air nampak memutih di sekitar jatuhannya. Di foto itu Angga berdiri sisi sebelah kanan dari Curug Citambur ini yang merupakan spot terdekat dengan jatuhan air yang bisa dijangkau. Terlihat ribuan meter kubik air jatuh ke dasar curugan, bergemuruh. Konon dulu debit air Curug ini lebih besar daripada sekarang sehingga jatuhan air nya mengeluarkan suara burr..burr.. yang terdengar dari kejauhan, oleh sebab itulah Curug ini diberi nama Citambur.

 
Melihat jatuhan air di foto itu, Angga semakin bisa mengingat pengalaman saat semakin mendekat ke arah curug, butiran air yang terbawa angin semakin deras menerpa. Kamera dan juga pakaian pun bisa dibuat basah olehnya. Terkadang angin menerpa cukup kencang bisa membuat badan tidak seimbang saat berdiri di ujung-ujung batu dekat Curug Citambur ini. Dia masih ingat betul ketika dirinya juga sempat merasa pusing saat berdiri mengambil beberapa foto di puncak-puncak batu dekat Curug Citambur ini. Apalagi saat melihat ke dasar lembah tempat aliran Curug ini mengalir, terlihat sangat dalam dan juga membuat setiap orang penasaran ingin mencoba berenang menikmati airnya.
 
Namun, semua keindahan itu tidaklah didapat dengan mudah. Curug Citambur ini terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur dan jika kita hendak menuju tempat ini dari wilayah Bandung, maka akses jalan terdekat adalah dari wilayah Ciwidey.
 
Dari Ciwidey kita masih harus menempuh jarak sekitar 10 km menuju perkebunan teh Sinumbra. Di sini kita akan disuguhi pemandangan perkebunan Teh yang sangat indah, kondisi jalan lumayan baik namun semakin lama semakin banyak ditemui aspal mengelupas di sana sini. Jika menggunakan sepeda motor, kita tak bisa melaju lebih dari 30km/jam karena sesekali harus melambat melewat jalanan dengan aspal rusak dan jalanan berpasir. Namun sejauh ini perjalanan masih menyenangkan untuk dinikmati, terutama beberapa spot pemandangannya yang menggoda kita untuk berhenti sejenak menikmati pemandangan hijau sepanjang mata memandang
 
Sesekali kita akan berpapasan dengan sepeda motor berplat F, karena walaupun masih masuk wilayah Kabupaten Bandung, namun rupanya banyak juga orang Cianjur yang menggunakan jalur ini untuk menuju wilayah Bandung daripada harus melewati Cianjur Kota yang jaraknya bisa sampai tiga kali lipat lebih jauh.
Jalanan berliku dengan kontur menurun harus kita lalui untuk menuju Curug Citambur ini, terkadang juga kita menemui jalanan bercabang yang lumayan membingungkan. Jika memang bingung, ikuti saja jalur jalan yang lebar. Tanyakan saja jalur menuju desa Cipelah karena desa inilah yang menjadi titik checkpoint perjalanan menuju Curug Citambur ini
 
Jarak dari Perkebunan Sinumbra menuju desa Cipelah sekitar 20 kilometer, bisa ditempuh dengan waktu sekitar satu jam karena laju kendaraan tak bisa lebih dari 30km/jam, dan rupanya sepanjang itulah jalanan dengan kondisi baik yang bisa kita temui. Setelah melewati Desa Cipelah, yakni daerah pasar semacam alun-alun, maka jalanan yang kita lewati mulai memprihatinkan.
 
Selepas Desa Cipelah jalanan yang kita lewati semakin membuat badan bergetar. Bukan lagi jalanan aspal yang kita lewati, melainkan seperti susunan batu yang dibuat untuk penderita rematik yang biasa terdapat di Taman Lansia. Semakin menakutkan ketika jalanan yang kita lewati merupakan turunan atau tanjakan karena ban motor terasa selip ketika menanjak ataupun ketika melambat melewati turunan. Jika berboncengan sudah pasti kita akan was-was melewati jalanan ini, sesekali pengendara yang berboncengan berdua harus berhenti dan turun karena takut jatuh atau motor tidak bisa menanjak. Ini terjadi di musim kemarau, lalu bagaimana jika di musim penghujan. Rasanya bukan ide bagus untuk berkunjung ke Curug Citambur di musim penghujan. Melihat jalanan seperti ini, rasanya khawatir jika membawa wanita hamil kesini, bisa-bisa keguguran di jalan.
 
Dalam perjalanan pergi menuju Curug Citambur ini kita akan menemui sebuah turunan di daerah Cisabuk (kalau tidak salah). Turunan yang berbatu dan lumayan licin yang harus kita lewati dengan penuh keberanian. Di sekitarnya sudah banyak warga yang berdiri di pinggir jalan, bersiaga membantu pengendara yang mungkin bisa saja terjatuh. Mereka biasanya akan berkata "lalaunan jang, leueur" (Pelan-pelan, nak.. licin). Memang jalanannya licin dan warga disana berinisiatif menaburi turunan tersebut dengan semacam kulit padi (huut dalam bahasa sunda) agar jalanan tidak terlalu licin, namun tetap saja membuat ban motor sedikit selip kala melewatinya. Warga di sini mungkin sudah terbiasa melihat pengendara terjatuh di sini karena terdapat beberapa bekas selip dan goresan motor yang jatuh. Ngeri.
 
Jika kita sudah sampai di sebuah SD (kalau tidak salah namanya SD Cipelah) terlihat di kejauhan garis putih membujur memotong perbukitan. Ada banyak air terjun yang bisa kita saksikan dari kejauhan disini. Tak jauh dari sana kita melewati sebuah gapura bercat biru. Inilah perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Setelah melewati Gapura tersebut, jalanan kembali mulus-lus-lus seperti jalanan perkotaan. Jalanan di wilayah Kabupaten Cianjur ini memang lebih baik daripada jalanan di sepanjang wilayah Kabupaten Bandung mulai dari Perkebunan teh Sinumbra hingga Cipelah.
 
Pintu masuk Curug Citambur terdapat di sebelah kanan jalan, tepat di depan kantor desa Karang Jaya. Begitu masuk akan ada sebuah pemandangan berupa Danau atau Situ Rawasuro. Tiket masuk tempat wisata ini cukup murah, tiga ribu rupiah untuk satu orang pengunjung.
 
Sekitar 200 meter dari pintu masuk, kita harus melalui jalanan berbatu untuk sampai di tempat parkir berupa lapangan tanah berumput. Dari sini kita bisa melihat Air Terjun yang jatuh dari atas tebing di ketinggian sekitar 100 meter. Inilah dia Curug Citambur, Curahan Anugerah Tuhan di Perbatasan Bandung Cianjur.
Memang terkadang untuk mendapatkan sesuatu yang indah diperlukan juga usaha yang tidak mudah untuk mendapatkannya. Dan pengalaman Angga saat berkunjung ke Curug Citambur ini juga merupakan sesuatu yang indah hingga masih akan terus tersimpan di benaknya hingga waktu yang lama.
 
Waktu terus beranjak menuju dini hari, kokok ayam mulai terdengar di kejauhan. Sembari mulai menutup satu persatu halaman Facebooknya malam itu, angga kemudian membereskan ingatannya. Disiapkannya segenap hati dan pikirannya untuk diistirahatkan. Malam itu menuju dini hari barulah Angga bisa kemudian menutup matanya sembari terus mengingat pengalaman indah berkunjung ke Curug Citambur
loading...
 
Copyright © 2014 Rasendriya Bercerita. Designed by OddThemes